Senin, Juni 06, 2016

Setapak Cahaya: MEMBOHONGI DIRI SENDIRI



Sahabat pernah mendengar istilah ‘menelan ludah sendiri’? Mungkin ini istilah yang cocok untuk kisah yang akan kita bahas berikut. Kisah salah satu paman Nabi yang paling dekat dan paling melindungi beliau. Yap, paman yang merawat beliau sejak kecil, sejak meninggalnya kakek beliau. Paman yang mengajak dan mengajari beliau berdagang, paman yang paling gembira atas kelahiran beliau. Ialah Abu Tholib. Iya, beberapa kisah heroik beliau terhadap penjagaan Rosulullah SAW dapat kita temukan di berbagai siroh Nabawiyah. Namun, hingga akhir hayat sangat disayangkan karena beliau tidak memilih Islam menjadi destinasi terakhir.
Berkaitan dengan kisah tersebut, di zaman sekarang ini juga dapat kita temui simpatisan-simpatisan umat muslim yang terdiri dari pemeluk ‘kepercayaan’ lain. Mereka yang baik terhadap umat muslim, mereka yang mengatasnamakan toleransi untuk menghormati umat muslim, mereka yang seolah melindungi umat muslim dari bahaya dan tantangan hidup, mereka yang melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian umat muslim agar tidak memusuhi atau memaksa mereka masuk ke dalam Islam. Padahal seperti yang telah kita bahas di Setapak Cahaya: Tidak Ada Paksaan, bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk islam. Baik atau tidak perbuatan mereka juga tidak dapat bernilai ibadah atau mendapatkan pahala.
Jika sahabat sekalian mengetahui isi kitab-kitab terdahulu sebelum AlQur’an (tentunya kitab yang asli dan bukan yang telah diubah atau dibuat-buat oleh manusia), telah digambarkan bahwa akan diutus seorang Rosul dan Nabi terakhir yang akan mengubah kehidupan dan membawa kebenaran yang mutlak. Sejarah tersebut  tertulis di dalam AlQur’an dan terbukti kebenarannya. Mungkin sahabat bisa menjadikan kajian Ustadz Zakir Naik atau Ustadz Bangun Samudra sebagai referensi dalam pengetahuan seperti ini.
Sejarah tersebut tertulis di surat Al-An’am ayat 20-24 yang artinya:
20. orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka Mengenal anak-anaknya sendiri. orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah).
21. dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.
22. dan (ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya[464] kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik: "Di manakah sembahan-sembahan kamu yang dulu kamu katakan (sekutu-sekutu) kami?".
23. kemudian Tiadalah fitnah[465] mereka, kecuali mengatakan: "Demi Allah, Tuhan Kami, Tiadalah Kami mempersekutukan Allah".
24. lihatlah bagaimana mereka telah berdusta kepada diri mereka sendiri dan hilanglah daripada mereka sembahan-sembahan yang dahulu mereka ada-adakan.

[464] Semua makhluk Allah yang mukallaf.
[465] Yang dimaksud dengan fitnah di sini ialah jawaban yang berupa kedustaan.
Tafsir Jalalain mengenai ayat ini, menyebut mereka yang mengenal Muhammad SAW dengan sifat dan ciri yang terdapat pada kitab mereka tetapi tidak beriman kepada Rosulullah merupakan pendusta AlQur’an dan penyekutu Allah. Mereka pula orang-orang yang berdusta terhadap diri mereka sendiri karena tidak menganggap diri mereka sebagai orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah. Padahal telah jelas bukti-bukti yang mereka tunjukkan dan Allah tidak luput Melihatnya namun di hari dikumpulkannya mereka tetap tidak mengakui kesalahan mereka.
Inilah yang tadi saya maksudkan di atas yaitu menelan ludah sendiri. Mereka akhirnya terjebak dalam perkataan dan perbuatannya sendiri. Kisah lainnya mengenai paman Abu Tholib tertera pada surat yang sama ayat 26, artinya: “Dan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Quran dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari.”
Yap, mereka membinasakan dirinya sendiri. Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Tholib yang melarang kaum musyrikin menyakiti Nabi SAW, padahal ia sendiri menjauhkan diri dari ajaran Nabi. Beliau telah mencelakakan diri tanpa disadari. Riwayat lainnya dari Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Abi Hilal menyebutkan bahwa ayat ini turun karena paman-paman Nabi SAW yang berjumlah sepuluh orang secara terang-terangan mereka sangat dekat kepada Nabi, tetapi secara diam-diam mereka merupakan perintang utamanya.
Sahabat, di hari pertama bulan Romadhon ini. Mari kita jadikan bulan ini sebagai sekolah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah Ta’ala. Tidak membohongi Allah, Rosul-Nya serta diri kita sendiri. Semoga kita diperkenankan oleh Allah untuk terus berada di jalan-Nya. Amiin.. Selamat menjalankan ibadah puasa~


follow me @qhimahatthoyyib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar